Kebudayaan Suku Sakai yang bercorak agraris juga ditandai dengan alat-alat yang berfungsi sebagai alat pertanian seperti gegalung galo.
Sakai merupakan salah satu suku yang mendiami kawasan pedalaman Riau di Pulau Sumatera. Nenek moyang Suku Sakai diyakini berasal dari Pagaruyung, sebuah kerajaan Melayu yang pernah ada di Sumatera Barat. Dahulu, Suku Sakai memiliki pola kehidupan yang masih nomaden, berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain.
Pola kehidupan yang masih nomaden ini meninggalkan kekayaan budaya yang menarik. Hal tersebut terlihat dari benda peninggalan Suku Sakai yang dahulu digunakan untuk keperluan hidup mereka di pedalaman. Benda-benda ini terbuat dari bahan baku yang sumbernya seratus persen dari alam, dan memiliki fungsi yang masih sederhana dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Salah satu benda tradisional peninggalan Suku Sakai adalah timo. Timo merupakan wadah yang terbuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Bagian sisi wadah diberi batas berbentuk lingkaran yang terbuat dari rotan lalu diberi tali yang juga terbuat dari rotan. Timo digunakan oleh masyarakat Suku Sakai sebagai wadah untuk menampung madu.
Kebudayaan Suku Sakai yang bercorak agraris juga ditandai dengan alat-alat yang berfungsi sebagai alat pertanian seperti gegalung galo. Alat yang terbuat dari bambu dan batang pepohonan ini berfungsi sebagai alat penjepit ubi manggalo untuk diambil sari patinya. Sebelumnya, ubi manggalo yang telah dikupas dikumpulkan di dalam wadah yang disebut tangguk.
Menariknya, Suku Sakai juga memproduksi pakaian yang bahannya seratus persen terbuat dari alam. Pakaian orang-orang suku ini dahulu ketika masih hidup dalam sistem nomaden terbuat dari kulit kayu. Pakaian inilah yang digunakan Suku Sakai untuk bertahan hidup selama berpindah-pindah tempat.
Suku Sakai merupakan salah satu kekayaan kebudayaan yang dimiliki nusantara. Walaupun pola hidupnya masih nomaden dan tergantung dengan alam, namun masyarakat Suku Sakai mampu bertahan hidup dengan menciptakan alat-alat kebutuhan rumah tangga lewat pemanfaatan alam.
Tak seperti suku pedalaman lain, nama Suku Sakai terbilang cukup jarang terdengar. Suku tersebut merupakan salah satu suku asli Riau yang dulu dipercaya memiliki pola hidup berpindah-pindah. Kehidupannya suku tersebut pun dikenal selalu dekat dan bergantung pada hutan.
Nama Sakai sendiri konon memiliki kepanjangan Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. Nama tersebut mengacu pada cara hidup Suku Sakai yang selalu berpindah ke berbagai tepian sungai atau sumber air. Awal migrasi mereka dipercaya dimulai pada abad ke-14, dengan masuknya Suku Sakai ke kawasan Tepian Sugai Gasib, Hulu Sungai Rokan yang berada di pedalaman Riau.
Walaupun perpindahan yang dillakukan hanya di kawasan Riau, Suku Sakai diyakini memiliki darah keturunan minang dan Ras Weddoid. Campuran tersebut berasal dari leluhur mereka yang merupakan keturunan Pagaruyung, sebuah kerajaan melayu kuno yang berasal dari Sumatra Barat dan orang-orang yang berasal dari Hindia Selatan.
Karena sering berpindah, Suku Sakai umumnya tinggal di suatu pondokan yang mudah dibongkar. Di dalamnya tinggal beberapa keluarga dan seorang pemimpin yang biasanya disebut dengan batin. Beberapa lokasi yang sering ditinggali Suku Sakai di antaranya seperti daerah Kandis, Balai Pungut, Kota Kapur, Minas, Duri, sekitar Sungai Siak hingga bagian hulu Sungai apit.
Hubungan Suku Sakai dengan hutan
Suku Sakai sangat menghormati hutan adat mereka. Kawasan yang biasa mereka sebut sebagai ulayat tersebut memiliki peraturan tertentu yang tak boleh dilanggar, salah satunya adalah larangan penebangan pohon.
Jika melanggar peraturan tersebut masyarakat Suku Sakai akan dikenakan denda uang yang jumlahnya setara dengan emas dalam ukuran tertentu, yang telah ditentukan dalam rapat adat. Denda itu biasanya disesuaikan dengan usia pohon yang ditebang.
Pohon yang sudah berumur akan memiliki nilai denda yang semakin tinggi. Larangan tersebut juga diberlakukan bagi orang dari luar suku sakai. Mereka yang melanggar peraturan bisa diusir dari kawasan hingga dibunuh.
Ragam alat penunjang kehidupan
Tak hanya peraturan, beragam hal yang diproduksi dan dikenakan Suku Sakai pun berkaitan erat dengan alam sekitarnya. Kedekatan masyarakatnya dengan hutan pun dapat dilihat lewat pakaian asli mereka yang terbuat dari kulit pohon.
Mereka pun memiliki satu wadah yang sering dimanfaatkan untuk menampung madu hutan. Wadah yang sering disebut timo tersebut terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan. Wadah yang sudah terbentuk lingkaran kemudian diberi batas dari rotan dan kemudian diberi tali.
Walaupun berpindah-pindah, Suku Sakai juga tetap melakukan aktivitas agraris seperti berkebun. Hal tersebut ditunjukan lewat alat gegalung galo yang dimiliki. Alat itu berguna untuk menjepit ubi manggalo yang kemudian dikumpulkan saripatinya untuk dimakan.
Mulai sulit ditemukan
Kawasan hutan yang semakin berkurang karena dimanfaatkan oleh perusahan dan pihak lain mendorong Suku Sakai untuk meninggalkan cara hidup mereka yang lama. Ilmu mereka dalam mengolah alam sekitar pun semakin terbatas untuk digunakan.
Pemandangan Suku Sakai dengan baju kulit kayu yang mungkin umum dilihat 30 yang lalu sudah tak terlihat. Masyarakat Suku Sakai kini sudah banyak berbaur dengan warga Riau lain. Kebanyakan dari mereka pun berpindah kepercayaan dari animisme menjadi muslim.
Baca Juga : https://plengdut.com/tari-campak-khas-bangka-belitung/